Sabtu, 25 September 2010

SOLUSI ISLAM ATAS BERBAGAI KASUS KELUARGA

Empat tahun menikah belum dikaruniai keturunan Banyak beramal shaleh, mengadopsi anak, sedekah dan istighfar akhirnya Allah mengarunia anak

a. Pengantar
Pada suatu sore datanglah seorang tamu perempuan usia sekitar 25 tahun, ia datang dengan ditemani oleh seorang perempuan teman kost-nya dulu. Setelah penulis mempersilakan masuk ke ruang tamu, terjadilah wawancara sebagai berikut :
Kl : Assalamu’alaikum wr. wb.
Ko: Wa’alaikum salam. Silakan duduk
Kl : Terima kasih Pak.
Ko : Boleh tahu nama mbak siapa, dan dari mana ?
Kl : Nama saya X, dan ini teman saya Y. Saya dahulu kost di kota ini Pak, ini dahulu teman kost saya sambil menunjuk seorang wanita yang duduk di sampingnya.
Ko : Sekarang tinggal di mana?
Kl : saya tinggal di kota Y (kira-kira jaraknya lebih dari 100 km dari tempat tinggal penuls)
Ko : Dari mana mbak tahu tempat ini?
Kl : Dari seorang teman Pak, kira-kira lima tahun silam saya dengan teman laki-laki saya (cucu pemilik kost saya di kota ini) pernah shalat berjama’ah dengan Bapak di masjid kampus UNNES.
Ko : lima tahun yang lalu?
Kl : benar Pak !
Ko : Subhanallah , apa yang bisa saya bantu?
Kl : Ya Pak, saya sudah menikah empat tahun yang lalu, tetapi hingga saat ini saya belum dikaruniai anak.
Ko : Empat tahun yang lalu ?
Kl : Benar Pak.
Ko : Suami bekerja di mana?
Kl : Wirausaha Pak
Ko : Dalam bidang apa?
Kl : Dalam bidang jasa
Ko : Bagaimana kehidupan keluarga saudara sehari-hari ?
Kl : Alhamdulillah, meskipun pas-pasan tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ko : Apakah saudara juga bekerja?
Kl : Ya pak, membantu suami semampu saya.
Ko : Ikhtiar apa yang sudah saudara lakukan selama ini (agar mendapatkan keturunan) ?
Kl : Saya sudah beberapa kali datang ke dokter bersama suami, tetapi hasilnya belum ada.
Ko : Apa kata dokter?
Kl : Kata dokter, “Suami tidak ada masalah” dan ”Saya pun tidak ada masalah”. Kata dokter, Baik-baik saja.
Ko : Apa saran dokter ?
Kl : Dokter menyarakan agar saya selalu menjaga kesehatan dan selalu bersabar
Ko : Apa rencana anda selanjutnya setelah saudara mendapat hasil pemerisksaan dokter?
Kl : Ya ini Pak, saya sengaja datang ke Bapak, saya sangat berharap Bapak bisa memberi saran untuk saya, apa yang seharusnya saya lakukan agar kami segera dikarunai anak.
Ko : Mungkin tidak hanya saudara yang diuji oleh Allah dengan kasus seperti ini. Saudara kita yang lain ada yang sudah menikah selama lebih dari 10 tahun belum dikaruniai keturunan, bahkan ada yang sudah lebih dari 15 tahun juga belum dikaruniai keturunan.
Kl : Ada yang sudah sampai lima belas tahun pak.
Ko : Ada yang datang ke sini sudah lima belas tahun menikah belum dikaruniai keturunan, bahkan seorang nabi Zakaria juga diuji oleh Allah belum memiliki anak sampai ia berusia sangat tua (beruban) dan istrinya pun mandul , .
Kl : Bagaimana akhirnya Nabi Zakaria pak?
Ko : Saya ingin saudara bisa meniru apa yang dilakukan oleh nabi Zakaria, dan semoga Allah meridloi usaha saudara.
Kl : Kemudian apa yang harus saya lakukan pak?
Ko : Pertama : Lakukan pengasuhan atau adopsi atau mupu (Jawa) terhadap seorang anak, syukur kalau ada dari saudara anda atau sahabat karib anda atau orang yang tergolong tidak mampu, namun sebaiknya anak-anak dari orang perkawinan yang syah .
Kedua : Mohonlah dengan sungguh-sungguh ke hadirat Allah swt
Ketiga : Perbanyaklah beramal shalih, dan banyak-banyaklah berdzikir kepada Allah setiap ada kesempatan
Keempat : Di samping itu semua, di sela-sela dzikir kepada Allah, bacalah istighfar sebanyak-banyaknya dengan tulus .
Saudara sanggup mengamalkan itu dengan niyat ikhlas semata-mata mengharapkan ridlo Allah?
Kl : Insya Allah, apakah hanya saya yang melaksanakan atau bersama-sama suami?
Ko : Akan lebih bagus jika dilaksanakan bersama-sama suami meskipun tempat dan waktunya bisa menyesuaikan.
Kl : Baik pak, kalau begitu saya mohon pamit.
Ko : Silakan, tetapi saya minta tolong kalau ada perkembangan saya diberi tahu.
Kl : Baik pak, Assalamu’alaikum
Ko : Wa’alaikum salam

b. Refleksi
Jika digunakan pendekatan rasional, sepasang suami istri yang sudah hidup berumah tangga selama empat tahun tentu sudah melakukan hubungan suami istri, secara teoritis tentunya sudah pernah terjadi pertemuan antara sperma dan sel telur, apalagi jika dari hasil pemeriksaan dokter ditemukan keduanya tidak ada masalah. Bertolak dari pemikiran di atas, semestinya mereka sudah memiliki anak. Tetapi dalam kenyataannya manusia tidak berdaya jika tidak ada idzin Allah yang menyertainya. Oleh sebab itu dalam menghadapi kasus ini tinggal satu jalan yang perlu diupayakan, yaitu pendekatan kepada Allah, swt.
Cara Allah dalam menyelesaikan masalah ini ditunjukkan dalam Al-Quran surat Ali Imron, ayat 35-40. berikut :
(Renungkanlah) ketika istri Imran berkata, “Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu, apa (anak) yang dalam kendunganku kiranya menjadi seorang yang dibebaskan (dari segala ikatan dengan makhluk). Karena itu terimalah nazar itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya dia pun berkata “Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamainya Maryam, dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada-Mu dari gangguan syetan yang terkutuk.

Maka Tuhan Pemelihara-nya menerimanya dengan penerimaan yang baik, dan menumbuh kembangkannya (mendidiknya) dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakaria sebagai pemeliharanya. Setiapkali Zakaria masuk untuk menemuinya di mihrab, ia mendapati rizki di sisinya. Zakaria bertanya, “Hai Maryam, dari mana engkau mendapatkan (rizki) itu?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah, sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. Di sanalah Zakaria berdo’a kepada Tuhannya seraya berkata, “Tuhanku, anugerahkan aku dari sisi-Mu anak yang berkualitas. (dzuriyyatan thayyibah). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a. Maka para malikat memanggilnya ketika ia sedang berdiri melakukan shalat di mihrab, (malaikat berkata) “Sesungguhnya Allah menggembirakan engkau dengan kelahiran Yahya, dia adalah orang yang membenarkan kalimat Allah, panutan, berkemampuan menahan diri, dan seorang Nabi yang termasuk kelompok orang-orang saleh.

Dia berkata , “Tuhanku! Bagaimana aku bisa mendapatkan anak, sedang usia lanjut telah mencapaiku dan istriku pun seorang wanita yang mandul?” Allah berfirman, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari ayat-ayat di atas, yaitu (1) manusia ternyata tidak mampu menentukan jenis kelamin anak kandungnya sendiri, laki-laki atau perempuan, (2) agar istri Imran mendapatkan anak, ia melakukan upaya dengan sungguh-sungguh, bahkan sampai dengan bernadzar agar kelak anaknya setelah lahir bisa menjadi orang yang berhidmat untuk merawat Baitul Maqdis (Ensiklopedia Al-Quran, 2007 : 55), (3) tak selamanya anak yang lahir dengan jenis kelamin yang tidak sesuai harapan orang tua itu tidak baik, sebab bisa jadi dari jenis kelamin yang tidak diharapkan itu justru akan lahir anak-anak yang alim dan shalih seperti Maryam melahirkan nabi ‘Isa. Oleh sebab itu setiap kelahiran seyogianya disambut dengan bersyukur dan memberikan pendidikan yang baik dan benar, (4) meskipun Nabi Zakaria telah hidup berumah tangga dalam waktu yang relatif lama (hingga usia telah lanjut), tetapi dia baru dikarunia anak (Yahya) setelah mengasuh Maryam sebagaimana anaknya sendiri (adopsi),
Tentang saran agar konseli banyak beristghfar atau mohon ampun kepada Allah didasarkan atas firman Allah dalam Al-Quran surat Nuh (71), ayat 8-12 berikut :
Kemudian sungguh aku telah mengajak kepada mereka dengan cara terang-terangan, kemudian sungguh aku telah menyeru mereka (lagi) dengan terang-terangan dan merahasiakan. Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhan-mu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untuk kamu kebun-kebun dan mengadakan untuk kamu sungai-sungai.

M. Quraish Shihab (2003, XIV : 463) dalam menafsirkan ayat di atas menjelaskan, bahwa hakekat yang disebut ayat di atas yang mengaitkan “permohonan ampun” (istighfar) dengan limpahan rizki serta keterikatan kesalehan hati dan konsistensinya, keimanan dan kemudahan rizki dan tersebarnya kesejahteraan, merupakan kaidah yang disebut berulang-ulang dalam Al-Quran, dan itu telah terbukti sepanjang masa.
Hasan bin Ahmad Hammam (2008 : 36-50) mendasarkan beberapa ayat Al-Quran dan hadits Nabi serta kisah-kisah sejak zaman Nabi menunjukkan sepuluh manfaat istighfar bagi pelakunya yaitu (1) Allah memberikan ampunan dan pahala yang besar serta karunia yang melimpah kepada siapa yang mengerjakannya, (2) istighfar termasuk salah satu dari sejumlah penyebab terpenting dan terbesar dari turunnya rizki dari Allah, (3) istghfar menjadi penyebab seseorang masuk surga, (4) istighfar menjadi penyebab dihapuskannya dosa-dosa dan kesalahan, (5) istighfar dapat mencegah hukuman dan adzab, (6) istighfar menjadi penyebab diangkatnya derajat setelah kematian, (7) istighfar dapat menyucikan hati, (8) istighfr menjadi penyebab bisa berketurunan, (9) istighfar menjadi penyebab bisa menikmati kesehatan dan kekuatan, (10) istighfar menjadi penyebab keselamatan wanita dari apa-apa yang terkadang muncul dari dirinya, berupa buruknya hubungan suami istri, atau kesalahan yang ia lakukan terhadap hak suaminya

c. Evaluasi
Tiga bulan telah berlalu, tiba-tiba seorang perempuan menelpon penulis. Melalui telpon ia berkata, “Saya Ny. X dari kota Y yang beberapa bulan yang lalu pernah datang kepada bapak, Alhamdulillah pak, saya sekarang telah memelihara anak kakak saya jenis kelaminnya perempuan, kakak saya punya dua anak perempuan, pada saat saya datang ke rumah bapak, dia sedang hamil anak ketiga. Saya pernah membicarakan nasehat bapak dengan dia, yaitu agar saya mengasuh anak saudara, maka ia berujar kalau anak ketiga lahir perempuan lagi, maka anak itu diberikan kepada saya. Sekarang sudah satu bulan dalam asuhan saya dan suami”. Penulis menjawab, “Semoga Allah meridloi saudara, dan pada saat yang tepat semoga Allah memberi anak dari darah dagingmu sendiri, namun demikian tetap sayangilah anak itu seperti anakmu sendiri” . Ia menjawab, “Amin, terima kasih pak”.
Waktu terus berlalu, penulis hanya bisa berharap semoga Ny. X yang ikhlas dibimbing dengan cara Allah mendapatkan ridlo-Nya, bisa tercapai apa yang diharapkan selama ini, yaitu memiliki anak dari darah dagingnya sendiri. Sebagai pembimbing, penulis juga tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk bisa membuat seorang menjadi hamil bila tidak dengan cara-cara Allah dan tanpa idzin Allah. Tiga bulan kemudian Ny.X menelpon kepada penulis “Alhamdulillah pak, saya sekarang telah hamil menjelang bulan ketiga. Mohon do’anya pak, agar kandungan saya selamat hingga lahir, dan menjadi anak yang ‘alim dan shalih”. Alhamdulillah jawab penulis, sambil penulis mendorong agar selalu mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan banyak beribadah, berzdikir, membaca Al-Quran dan bersedekah.
Pada akhir tahun 2006 Ny X menelpon penulis dan mengabarkan bahwa bayinya telah lahir dengan selamat, jenis kelaminnya laki-laki. Suaminya sangat bahagia, demikian pula Bapak-Ibu kandung dan Bapak-Ibu mertuanya semua berbahagia dengan kelahiran seorang cucu yang lama didambakannya. Dia juga mohon agar penulis mendo’akan supaya anaknya yang baru lahir selalu sehat dan menjadi anak yang ‘alim dan saleh. Penulis tidak bisa membayangkan betapa bahagianya keluarga tersebut, tanpa penulis sadari tiba-tiba meneteslah air mata sambil berucap “amin, semoga Allah meridloi”. Pertanyaan yang muncul adalah apakah semua kasus serupa bisa diselesaikan dengan mudah?
Banyak kasus serupa yang datang kepada penulis, namun tidak semuanya behasil dengan baik, ada yang datang dengan usia pernikahan telah mencapai 10 tahun, bahkan ada yang sudah 14 tahun menikah belum dikarunia seorang putrapun. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa ada yang sukses dan mengapa ada pula yang belum? Jawabnya ada beberapa kemungkinan, (1) mungkin dalam mintanya belum sungguh-sungguh atau belum sesuai dengan tuntunan Allah, (2) mungkin cara memintanya sudah sesuai, tetapi Allah masih hendak menguji kesabarannya hingga saat yang dikehendaki-Nya, (3) mungkin belum sesuai dengan takdir Allah, atau (4) mungkin Allah menyimpannya dan diberikan hasilnya berupa pahal pada hari akhir nanti .
Perihal syarat terkabulnya do’a, para ulama’ mendasarkan ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi mensyaratkan (1) harus ikhlas dan hanya berharap ridlonya, oleh sebab itu individu yang bersangkutan hendaknya tidak minta kepada selain Allah (syirik), (2) bersungguh-sungguh, dengan rendah hati dan suara yang lembut, dengan rasa takut dan berharap hanya kepada Allah, serta tidak melampaui batas , (3) bersabar, tidak tergesa-gesa dan tidak berputus asa , (4) berhenti dari berbagai kemaksiatan dan mohon ampun kepada Allah, (5) makan atau minum barang-barang haram (baik itu zatnya maupun cara mendapatkannya), (6) berbaik sangka kepada Allah , (7) disertai dengan hadirnya hati yaitu memahami makna dari apa yang diucapkan, (8) dilaksanakan pada tempat dan waktu-waktu yang mustajabah, seperti : pada malam lailatul qadar, pada hari Arofah, pada saat berbuka puasa, pada pertengahan malam, pada waktu sahur, pada saat dikumandangkan adzan, antara adzan dan iqamah, pada saat iqamah, pada penghujung shalat-shalat wajib, pada saat sujud yang terakhir dalam suatu shalat, dan ketika berada dalam majlis ilmu.
Meskipun terkabulnya do’a sepenuhnya adalah urusan Allah, namun Hasan bin Ahmad Hammam (2008 : 114-15) mengingatkan, “Apabila bencana menimpamu dan perkara menyusahkanmu, bersegeralah untuk mengingati-Nya, menyebut nama-Nya, meminta bantuan-Nya, serta memohon rizki dan pertolongan-Nya. Tetaplah berada di pintu-Nya, tunggulah belas kasih-Nya, nantikan kemudahan dari-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya, berharap sepenuh hatilah kepada-Nya, beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan, bersegeralah kepada-Nya dalam segala musibah dan bencana, bersimpuhlah di depan pintunya dengan penuh rendah diri, memohon, menangis, bertobat dan kembali kepada ketaatan.
Jika hal itu sudah saudara lakukan, yakinlah pasti akan datang bantuan-Nya kepada Anda, pertolongan-Nya tiba dan muncul jalan keluar dan kemudahan. Pada saat itu yang tenggelam tertolong, yang hilang ditemukan, yang tertimpa musibah bisa selamat, yang terzalimi tertolong, yang tersesat mendapatkan petunjuk, yang sakit sembuh, dan yang berduka terobati. Bukankah Allah telah berfirman, “Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya... ? (QS, 27 : 62)